Pedoman Perilaku Hakim - Pa Sampit
Pedoman Perilaku Hakim

Pedoman Perilaku Hakim

A. PENDAHULUAN
Bahwa keadilan merupakan kebutuhan pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan  keadilan serta dalam  proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegak martabat dan integritas Negara. Hakim Sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Setiap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari dan tirta merupakan cerminan perilaku Hakim harus senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Maha Esa, adil, bijaksana berwibawa, berbudi luhur dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip-prinsip pedoman Hakim dalam bertingkah laku, bemakna pengalaman tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong Hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing. Seiring dengan keluhuran tugas dan luasnya kewenangan dalam menegakkan hukum dan keadilan, sering muncul tantangan dan godaan bagi para Hakim. Untuk itu, Pedoman Perilaku Hakim merupakan konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan sebagai Hakim yang berbeda dengan warga masyarakat biasa.

Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adat kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk  menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan dukungan sosial yang bertanggung jawab. Selain itu diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi diatas belum  sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.

Atas dasar kesadaran dan tanggung jawab tersebut, maka disusunlah Pedoman Perilaku Hakim ini dengan memperhatikan masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan Iingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetusksan dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI tahun 2002  di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim. Proses penyusunan pedoman ini didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan  serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain Bangalore Principles. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan penjabaran dari ke 10 (sepuluh) prinsip pedoman yang meliputi kewajiban-kewajiban untuk : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijakasana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional.

B. PENGERTIAN

  1. “Hakim” adalah seluruh Hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua tingkatan peradilan.
  2. “Pegawai Pengadilan” adalah seluruh pegawai yang bekerja di badan-badan peradilan.
  3. “Pihak Berwenang” adalah pemangku jabatan atau tugas yang bertanggung jawab melakukan proses dan penindakan atas pelanggaran.
  4. “Penuntut” adalah Umum dan Oditur Militer.

C. PENGATURAN

1. BERPERILAKU ADIL

Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sarna kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan  yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum  yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

Penerapan :

1.1 Umum
1.1.1 Hakim tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi Hakim tersebut (fairness)
1.1.2 Dalam melaksanakan tugas peradilan, Hakim tidak boleh, baik dalam perkataan, sikap, atau tindakan menunjukan rasa tidak suka, keberpihakan, prasangka, membeda-bedakan atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau orang-orang yang sedang berhubungan dengan pengadilan.
1.1.3 Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak lainnya yang tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk menerapkan standar perilaku yang sama dengan Hakim sebagaimana disebutkan dalam butir 1.1.2
1.1.4 Hakim tidak boleh mengeluarkan perkataan, bersikap atau melakukan tindakan, yang dapat menimbulkan kesan yang beralasan dapat diartikan sebagai keberpihakan, tidak atau kurang memberikan kesempatan yang sama, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi
1.1.5 Hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.
1.2 Mendengar Kedua Belah Pihak
1.2.1 Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.
1.2.2 Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara diluar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.

2. BERPERILAKU JUJUR

Kejujuran pada hakekatnya bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.

Penerapan :

2.1 Umum
2.1.1 Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.
2.1.2 Hakim Harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun diluar pengadilan, selau menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality)
2.2 Pemberian Hadiah.
2.2.1 Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari :
  1. Advokat
  2. Penuntut
  3. Pihak yang kemungkinan kuat akan diadili
  4. Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
    Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
2.3 Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan
2.3.1 Hakim wajib melaporkan secara tertulis pemberian yang termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima
2.3.2 Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan sebelum dan setelah menjabat tanpa ditunda-tunda, bersedia diperiksa kekayaan segera setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib melakukan segala upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan secara baik, apabila diperlukan oleh pihak yang berwenang, Hakim harus bersedia diperiksa kekayaannya pada saat atau selama memangku jabatan.

3. BERPERILAKU ARIF DAN BIJAKSANA

Arif dan bijaksana pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang  arif dan bijaksana mendorong terbentuknya  pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
Penerapan:

3.1 Pemberian Pendapat atau Keterangan.
3.1.1 Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara diluar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara yang lain.
3.1.2 Hakim yang diberikan tugas resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak berhubunggan dengan substansi perkara dari suatu perkara.
3.1.3 Hakim dapat memberikan keterangan atau menulis artikel dalam surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-bentuk kontribusi lainnya yang dimaksudkan untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai hukum atau administrasi peradilan secara umum yang tidak berhubungan dengan masalah substansi perkara tertentu.
3.1.4 Hakim dalam keadaan apapun tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik dan pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.
3.1.5 Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan Hakim dalam perkara lain.
3.2 Aktivitas Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan
3.2.1 Hakim dapat menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan mengenai hukum, sistem hukum, administrasi peradilan dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi Hakim dalam membahas suatu perkara.
3.2.2 Hakim boleh menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem hukum, administrasi peradilan lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian Hakim.
3.2.3 Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik  atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa Hakim tersebut mendukung suatu partai politik